CERPEN KARYA ANNISA KRESNO PUSPITA (X MIPA 2)

 Seutas Tali Untukmu

 

Suara ayam jago membangunkanku sekilas cahaya matahari membutakan mataku. aku mengucek ucek mata dan remang remang melihat kakakku berkacak pingang di seberang kasurku dengan ekspreksi kesal. Kakakku berpenampilan rapi sekalidengan baju dinasnya.

oi!! Mana ada pejaka macam kau yang bangunnya kesiangan?!” gerutunya menarik selimutku. Aku menyengir tertahan sambil bangun dengan perlahan dari kasurku. 

Terlihat kamarku sudah terang benderang dengan cendela yang di buka lebar lebar. Aku masih terduduk di pingiran kasur masih dengan bermalas malasan hendak berdiri. Kakakku dengan gemas menyeret tanganku ke luar kamar sambil terus mengomel.

malulah kau melihat anak tetangga pagi-pagi sudah bantu orang tuanya. Lama-lama rejeki kau dipatuk ayam nanti!”

Aku hanya berdehem sembari berjalan lunglai menuju kamar mandi dengan masih diawasi kakakku yang bagaikan mercusuar pengawas. 

Oh iya… namaku Abimanyu Arai, orang terdekatku biasa memanggilku Arai atau Bima. aku anak terakhir dari dua bersudara. Orang galak yang membangunkanku tadi adalah kakak laki lakiku namanya Bagaskara Adi. Dia memang cerewet dan suka mengaturku, menyebalkan…

Lima belas menit kemudian Aku berjalan santai keluar dari kamar mandi sambil mengosok gosokkan handuk ke rambut yang masih basah. Perutku terus berbunyi karena lapar. Aku segera bergegas menuju dapur.

“Peristiwa yang terjadi saat 10 november…. “

Terdengar suara kak Bagas sedang berbicara dengan seseorang dari ruang tengah. Saat kuintip ternyata ia sedang melakukan meeting online yang mungkin dengan muridnya. Sedikit info, kakakku adalah seorang guru honorer di sebuah sekolah menengah pertama. 3 tahun lalu setelah kelulusannya iamelamarkan diri di banyak perusahaan, tetapi sia-sia tidak satupun perusahaan menerimanya. Padahal menurutku kak Bagas adalah orang yang paling pintar dan keren, ia selalu mengajariku hal hal yang tidak kutahu. 

Tetapi dengan sifat pantang menyerahnya ia mencalonkan diri di sebuah sekolah menengah pertama di kota sebelah yang jaraknya cukup jauh. Usahanya membuahkan hasil, ia diterima menjadi guru honorer dan mengajar mata pelajaran sejarah. 

Tanpa dapat diprediksi terjadi pandemi yang melanda negeri ini. Semua hal harus dilakukan dirumah termasuk kerja kakakku dan tentunya sekolahku. 

Aku meneruskan jalan hingga dapur. di meja dapur ada tudung saji yang ketika kubuka berisi udang goreng dan sayur rebung. Aku segera berlari mengambil nasi dan makan dengan lahap di meja makan. Berberapa detik kemudian kakakku datang sambil melepaskan dasinya dan duduk di kursi makan. 

ibu kemana?” tanyaku sambil terus menyedokkan sesendok penuh nasi dan sayur rebung ke mulutku

ibu berangkat ke puskesmas fajar tadi. Kau mana tau, tidur terus kerjamu!” jawabnya sambil menjitak kepalaku dengan keras.

Aku mengaduh dan mengosok-gosok hasil jitakan di dahi. Hari ini minggu, waktu libur sekolah online yang paling kutunggu tunggu. Harusnya aku bisa tidur dengan pulas sampai siang, tetapi kak Bagas membangunkanku lebih awal. 

tugasku kan sudah selesai” sanggahku memasukkan sendok terakhir makanan ke dalam mulut.

Kak Bagas yang sedang menuangkan air dari teko tanpa mengalihkan pandanganya kearahku menjawab “kau lihatlah anak tetangga yang membantu emaknya subuh tadi, selesai itu menjaga kebun di dekat sungai membantu bapaknya sambil belajar di kebun. Kau kerjanya main handphone, makan, tidur, begitu saja terus tidak ada rasa bersukurnya…” kak Bagas kembali duduk di kursi makan di depanku dan meneguk air di gelasnya.

oi, sampai kau bisa santai santai begitu itu tidak gratis, harus ada yang dibayar! Harta, nyawa dan segalanya yang dikorbankan pejuang dahulu. Kemerdekaan kita ini tidak mudah butuh waktu beratus-ratus tahun untuk mengapainya dan setidaknya kita sebagai generasi muda harus memanfaatkannya dengan baik. Dengar, manfaatkan kemerdekaan yang tidak didapat secara cuma-cuma ini Arai!” lanjut kak Bagas sambil manatap tajam kearahku. 

Aku bangkit tanpa memperhatikan kalimat kak Bagas. Sering sekali kak Bagas berkata seperti itu kepadaku hingga aku hafal diluar kepala. Kak Bagas nampak menghembuskan nafas panjang terlihat kesal dengan sikapku.

Saat aku hendak masuk kamar untuk bermain ponsel, terdengan teriakan dari luar pagar. Aku berjalan keluar pintu rumah untuk membukakan gerbang. Terlihat seorang anak dengan tubuh yang besar dan tinggi serta badan yang cukup berisi hampir seperti binaragawan terlihat seperti menyengir lebar dari balikmaskernya. Anak itu mengangkat-angkat sebuah kantung plastik di tangannya. 

ayo main, Arai” tawar anak itu sembari berjalan melewati taman rumahku menuju teras rumah.

video game? Aku punya permainan baru.” Tanyaku sambil penasaran dengan apa yang dibawanya. “apa yang kau bawa?”

Anak itu mengangkat bungkusan kresek di tangannya “jantung pisang, ibu kau menitip padaku tadi pagi” tepat setelah itu kak Bagas muncul dari ambang pintu “Panca? Masuklah kau. Oi, Arai bawalah masuk temanmu ini.” Tanpa menunggu lebih lama kami berdua masuk kedalam rumah.

Anak itu adalah temanku sedari kecil, Panca Radinka namanya. Kami selalu satu sekolah hingga SMA. Dia anak yang ulet dan rajin, setiap pagi membantu bapak dan emaknya di kebun atau berdagang sayuran. Tak heran kak Bagas selalu menjadikannya contoh dalam setiap omelannya kepadaku. 

video game?” tanyaku lagi setelah panca memberikan bungkusan tadi kepada kak bagas.

bagaimana kalau berjalan jalan atau bermain sepak bola dengan kawan-kawan lain” usul panca.

Aku menggelengkan kepalaku tidak setuju “sekarang sedang ada pandemi, tidak boleh berkumpul ataupun sering sering keluar rumah” ucapku. Panca mengangkat bahu dan menyandarkan badan tegapnya ke sofa ruang tengah. “bagaimana kalau bermain basket berdua?” usulku. Raut Panca berubah antusias, kami segera berlari ke taman depan dan melakukan pemanasan terlebih dahulu dengan mengitari halaman rumahku yang cukup luas. Sekedar informasi, rumah yang kutempati sekarang ini adalah peninggalan buyutku dari ibuku di jawa. Sebelumnya aku pernah tinggal di Sumatera, kota kelahiran bapak sekitar 4 tahun. Meskipun cukup tua rumah ini masih kokoh dan terawat. 

Aku berlari mencoba merebut bola dari panca yang tinggi badannya sekitar 3cm di atasku. Permainan sudah berlangsung selama kurang lebih 2 jam, tetapi skor yang di dapat imbang 18-18. Setelah perebutan bola yang sengit dan melelahkan aku baru bisa mengimbanginya. Kali ini adalah penentuan akhir dalam permainan ini, aku mencoba melakukan dribble dan akanmelakukan jump shoot. Sayangnya, panca dengan tubuh atletis super cepatnya merebut bolaku dan melakukan one shoot saat itu juga. Aku terduduk di tanah sambil terengah-engah. Pertandingan kali ini sungguh menguras tenaga. Panca tertawa kecil lalu ikut duduk di sebelahku dan meledekku “kau ini bagaimana mau menang, kerjamu seharian Cuma main video game”. Aku mendengus sebal, panca menepuk nepuk pundakku sambil terus tertawa. 

Terdengar suara pagar di ketuk. Aku dan panca mengalihkan perhatian kearah pintu gerbang, terlihat Hana Rinjani, adik panca yang berusia sekitar 9 tahun berteriak memanggil panca “Maaass….dipanggil Emak..disuruh ambil uang jualan…kalau telat nanti tidur dikebuunn..!!!”.

Panca menepuk dahi dan segera berpamitan kepadaku dan menitip salam untuk ibu dan kak Bagas. Kini giliran aku yang tertawa, untuk urusan olahraga panca selalu juara satu tetapi untuk urusan lainnya Panca boleh juara tiga.

Hari sudah semakin larut. Ibu juga sudah datang dari kerjanya di puskesmas. Kami makan malam dengan sayur jantung pisang buatan ibu bertiga. Meja makan terlihat hangat dengan percakapan ringan kami bertiga.

bu.. kapan bapak bisa pulang dari dinasnya?” tanyaku tiba-tiba. Kegiatan menuangkan sayur ke piring ibu terhenti sejenak. Aku merasa tidak enak menanyakan perihal hal ini.

semoga saja bisa pulang tahun depan atau syukur-syukur 2 bulan lagi pulang” jawab ibu sambil meneruskan menuangkan sayurnya ke piring. Aku hanya mengangguk dan meneruskan makan, tidak berani bertanya lebih jauh. Kak Bagas juga terlihat mulai diam, tidak jadi menimpali. 

Bapak berkerja di luar pulau sebagai Tentara yang menjaga perbatasan Kalimantan. Jika biasanya dalam 5 hingga 7 bulan bapak pulang, karena adanya pandemi ini sudah hampir 2 tahun bapak tidak bisa pulang bahkan untuk sekedar menengok atau berkumpul bersama kami dan tentunya kami bertiga sangat rindu untuk bertemu Bapak. Tetapi bapak tidak selalu ditugaskan di luar pulau, kadang bapak memilih bertugas di kota kami atau kota sebelah dan kadang bapak mengambil cuti untuk berkerja sampingan menjadi penulis artikel ataupun novel. 

Sudah dua minggu berlalu semenjak percakapan tentang bapak di meja makan, aku dan kak Bagas tidak menyinggung soal bapak lagi. Kami tahu, ibu sangat sedih dengan ketidakpulangan bapak selama 2 tahun terakhir akibat adanya PPKM.  

Sudah dua minggu ini pula Panca sering datang kerumahku hanya untuk sekedar bermain dan berolahraga ataupun belajar bersama denganku dan kak Bagas. 

Namun ada yang berbeda di minggu ketiga hari rabu, saat aku sedang menyiram halaman depan yang penuh dengan tanaman kesayangan ibu, Panca datang dengan wajah yang terlipat dan muramMenurutku Panca adalah orang yang mudah ditebak. Aku mematikan keran air lalu mendatangi Panca yang bersandar di pagar depan.

sedang apa disitu? Mari masuk..” ucapku sambil membukakan pintu gerbang. 

tidak usah, kita bicara di sini saja berdua” tolak Panca cepat. Aku hanya mengangguk dan ikut bersandar di sebelah Panca.

orangtuaku tidak diperbolehkan berdagang lagi, Arai” Panca tanpak tertawa pelan, terdengar miris di telingaku. “kalau begitu bagaimana dengan kehidupan keluargaku tanpa berdagang? Bagaimana dengan hasil kebun yang menumpuk?” lanjutnya sambil menundukkan kepala dalam-dalam. Aku menyandarkan kepalanya ke bahuku, hatiku ikut sedih mendengarnya. Sebagai seorang sahabat aku tidak ingin dia terlalu banyak memikul semua kesedihan ini sendirian, orang tua panca keduanya sudah tua dan seharusnya sudah waktunya beristirahat di hari tuanya. Sedangkan Panca sebagai anak tertua harus menanggung beban keluarganya. 

Kami terdiam di antar bunyi gesekan dedaunan dan semilir angin yang dingin. Sudah hampir sejam Panca terus dalam posisi ini, menyandarkan badannya di pagar dan menangkupkan wajahnya ke pundakku. 

Tiba-tiba panca menegakkan tubuhnya sambil mengosok kedua matanya dengan tangan lalu kemudian berjalan pulang tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Aku hanya dapat dapat memandang punggungnya yang lebar dari kejauhan hingga sosoknya menghilang diantara deretan rumah warga. Maaf Panca, aku masih mencari jawaban untukmu.

Sejak kejadian itu panca sudah tidak datang kerumahku lagi. Aku sudah memberi tahu perihal Panca ke kak Bagas, saat itu kak bagas sedang sakit demam jadi tidak banyak membantu.

ketahuilah Arai… sahabat adalah sebuah tali ketika tangga yang dipijak sedang rusak dan membantunya menemukan pijakan baru. Jadilah tali itu Arai! tidak terlalu besar namun kuat dan bermanfaat-“ tepat setelah itu kak Bagas batuk-batuk, Ibu yang baru keluar kamar mandi menyuruhku untuk keluar dari kamar Kak Bagas agar tidak tertular. Saat hendak meraih gagang pintu,kak Bagas memberiku dua acungan jempolnya dan tersenyum lebar seolah berkata 

‘Ayo Arai kau pasti bisa!! Kak Bagas selalu mendukungmu…” aku ikut menyegir dan balik mengacungkan jempol.

Aku sudah mencoba datang ke rumahnya, tetapi Panca selalu tidak ada di rumah maupun di kebun. Sudah pernah kutanya ke keluarganya, mereka hanya memeritahuku jika Panca selalu pergi pagi buta dan pulang larut malam. Aku semakin khawatir mendengarnya, Panca dimana kau sekarang?

Sekarang hari selasa minggu keempat semenjak hilangnya panca dari hadapanku. Hari ini aku terus-terusan mengurung diri di dalam kamar. Bukan untuk bermain video game atau membaca komik, aku memikirkan bagaimana penyelesaian masalah Panca dan di mana dirinya sekarang. Aku membuka mesin pencari dengan internet di komputerku. Aku membuka blog orang-orang untuk mencari pencerahan, tetapi nihil aku malah sampai di sebuah situs tentang masak memasak yang terhubung dengan aplikasi pengantaran dan penjualan online. 

Terdengar pintu di ketuk, ibu masuk sambil membawakan kotak makanan dan botol minuman. Aku buru-buru berdiri dan mengambilnya dari tangan ibu.

ayo segera dimakan kalau tidak ingin sakit seperti kakakmu” kata ibu sambil mencubit hidungku. Aku membuka kotaknya yang berisi mie ayam, kesukaan kak Bagas. “kapan ibu beli mie ayam?” tanyaku. Tanganku cekatan mencampur semua bumbunya dan memasukkan sesendok ke dalam mulut. “baru saja, lewat driver online kok” jawab ibu lalu berlalu menutup pintuku. Aku mengangguk angguk dan melanjutkan makan.

Besoknya aku terbangun dengan perasaan ambigu. Aku kembali melihat kak Bagas eh..salah itu ibu yang sedang menata selimutku yang berantakan. 

ayo bangun Arai, temani ibu dan kak Bagas kerumah sakit” ibu menepuk-nepuk wajahku yang masih setengah sadar. Aku berdiri dengan terhuyung dan segera menuju kamar mandi. Saat ini masih pukul enam pagi, air dan udara sekitar masih dingin. Setelah keluar kamar mandi dan bersiap-siap di kamar. Aku menyusul ibu dan kak Bagas di pintu depan yang sudah lengkap dengan standar kesehatan ketika keluar rumah saat pandemi. Hari ini kak Bagas akan di periksakan ke dokter di rumah sakit, setelah tiga hari panasnya tidak turun dan kunjung sembuh. Mobil jemputan yang di pesan ibu datang, kami bertiga naik kedalamnya. Sebetulnya kami memiliki mobil yang terparkir di dalam garasi, namun kak Bagas tidak diperbolehkan menyetir, ibu tidak bisa menyetir mobil dan aku belum cukup umur untuk punya sim dan menyetir. 

Mobil melaju membelah jalanan kota yang cukup ramai. Aku berkali kali menguap sambil mengamati aktifitas warga kota yang sangat sibuk, banyak pesepeda yang memadati pinggir jalan, mobil dan motor yang berebutan mengambil jalur dan juga banyak pedagang kaki lima yang berdagang bersembunyi, jika ada petugas mereka akan buru buru membereskannya. Menurutku tidak ada yang berubah jalanan ini tetap padat ada maupun tidak adanya PPKM karena ini adalah lingkaran hidup mereka, mereka pasti akan ketempat ini sekedar untuk melewatinya, berdagang, duduk di sekitar kursi jalan, mampir di toko sekitar situ dan hal lainnya.

Mobil sudah berhenti di depan rumah sakit yang besar. Aku ikut turun dan mobil yang kami naiki menunggu di parkiran. Ibu sudah mengambil antrian dan menunggu sampai nama Kak Bagas dipanggil, aku ikut menunggu sambil bermain nintendo hadiah ulang tahunku tahun lalu dari bapak.

Cukup lama aku menunggu akhirnya kak Bagas sudah selesai pemeriksaan. Ibu bilang kak bagas tidak usah dirawat inap karena hanya demam biasa, penyebabnya yaitu kecapekan saat berkerja. 

Kami kembali kemobil dan berencana membeli sarapan bubur di depan stasiun. Aku bersorak gembira, bubur adalah makanan kesukaanku. Sekitar sepuluh menit setelah mobil kembali melaju kami sampai di depan kedai bubur langganan kami. Aku ikut turun untuk memilih menu, kak Bagas tetap di mobil karena sudah mulai tidak enak badan. Aku memilih bubur manado porsi jumbo dengan tambahan toping, membayangkannya saja sudah membuatku lapar. Saat pesanan masih di buat, sekelibat aku melihat posur tubuh tinggi yang familier sedang berdagang air mineral dan makanan ringan lainnya. Tidak salah lagi itu Panca!! Aku segera berlari tanpa peduli seruan ibu yang menanyaiku hendak kemana. 

“PANCAAAA!!!” teriakku keras. Panca yang mendengar itu berlari menghindariku, aku menyusulnya dengan berlari. Aku mengejarnya hingga masuk ke dalam stasiun yang cukup ramai. uhh….aku kehilangan jejaknya, sudah tiga petugas berbeda yang kata mereka mengenal panca tetapi tidak melihat panca dimana sekarang. Aku berjalan lunglai kembali ke kedai bubur, di sanaibu sudah menunggu dan meminta penjelasannya. Aku memberinya penjelasan ketika sudah sampai dirumah. Bubur jumbo yang tadi kupesan sudah habis. Aku kembali ke kamar dan merebahkan tubuh ketempat tidur, lelah rasanya berlarian mengejar sosok Panca yang sekarang entah dimana. Aku tertidur hingga malam tiba, aku terbangun saat jam menunjukkan pukul Sembilan. Aku keluar kamar untuk mengambil minum. Di dapur ada kak Bagas yang sedang membaca buku kesukaanya, filsafat.

Aku mengabaikannya dan segera membawa segelas air putih untuk diminum dikamar. 

kau dapat melakukannya.. jawabannya ada dari sekitarmu” ucap kakakku tiba tiba “pahamilah Arai..” aku berdiri mematung di tempatku. Ucapan kak Bagas seperti mengingatkanku akansesuatu.

Itu dia! Aku tahu semua jawaban masalah Panca.

Besoknya saat pagi buta aku berlari kerumah Panca. Panca terlihat bersiap siap untuk berdagang di stasiun, saat melihatku ia kembali lari. Aku mengejarnya sekuat tenaga hingga melampauinya, aku mendorongnya ke semak-semak agar dia berhenti. Sayangnya Panca menarikku hingga kami berdua jatuh berguling guling dan menabrak rimbunan semak yang lebat. 

“PANCA!! Cukup untuk larinya!” bentakku menarik tangannya. Panca terus berusaha kabur

pergiaku sudah cukup merepotkanmu, biarkan aku menyelesaikannya sendiri” balasnya sambil hendak melakukan gerakan mengunci. Aku meninju mukanya dengan keras-keras, Panca terlihat syok dengan perlakuanku.

maaf Panca…tapi dengar aku punya penyelesaian” ucapku “kamu dapat memberikan hasil panennya ke rumah tangga produksi sekitar sini. Aku sudah membicarakannya pada mereka dan setuju. Mereka akan menjual makanannya melalui driver online. Kamu harus mau dan tidak ada kata tidak. aku sudah melakukan observasi, lagipula orangtuamu setuju”

Panca menutupi mukanya dengan tangan “maaf Arai…aku malu dengan dirimu yang sudah melakukan semua ini demi keluargaku, sedangkan aku sendiri sama sekali tidak melakukan apa-apa”

Aku tertawa keras “dalam definisi kita masing masing kita memang tidak melakukan apa apa, tetapi dalam definisi orang lain itu berarti besar Panca… kau adalah pahlawan keluargamu” panca terlihat malu dengan perkataanku yang mengatakan bahwa dia adalah pahlawan, ia ikut tertawa dan meninju lenganku. 

Aku membantu panca bangun dari jatuh kami dari tanah tadi. Selesai itu kami berjalan menuju jalan yang telah kami rencanakan sebelumnya, bersama.

 

Tamat

 

Cerita pendek oleh ANNISA KRESNO PUSPITA X MIPA-2

Comments

Popular posts from this blog

JADWAL DAN BAGAN PERTANDINGAN 3X3 COMPETITION

17AN DOELANAN

INIVTASI BASKET SMADA & DOEA 3X3 BASKETBALL COMPETITION 2019