CERPEN KARYA TSABITAH AZLIATUS SALAMAN (XI MIPA 3)
PAHIT PALING MANIS
“Yang tabah ya Ardhan, ikhlas”
Kalimat itu sudah terucap entah berapa kali dari mulut orang yang beberapa bahkan tidak kukenal. Mereka hanya sekedarmengucapkan, tanpa tahu rasa sebenarnya dari kehilangan.
Hari sudah mulai petang, tidak ada pelayat lagi. Segera akumengunci pintu, berharap para pelayat selanjutnya mengertibahwa penghuni satu-satunya rumah ini sudah tak menerimasiapapun lagi untuk mengucapkan kalimat duka.
Aku kembali duduk di tempat sebelumnya, berusaha mencernasemua hal yang terjadi. Sudah lelah kutahan tangisku dari detikpertama orang tuaku dikabarkan meninggal akibat kecelakaan, takut jika orang-orang akan merasa kasihan padaku.
Perlahan memori bersama orang tuaku terpapar jelas tanpa izin. Benteng pertahanan ku runtuh, aku menangis sejadi-jadinya. Berusaha sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara meskipunrasanya sesak.
Belum siap rasanya jika harus hidup sendiri setelah ini. Tidak adalagi ayah yang diam-diam membelikan makanan pedas favoritkusepulang kerja, namun anehnya tetap ketahuan oleh ibuku danberujung ceramah selama satu jam lamanya. Lucu, baru sekarangaku merindukan hal yang sebelumnya sangat kuhindari.
Aku rindu omelan ibu, aku rindu sikap jahil ayah, aku rindusemua hal tentang keluarga kecil kita sebelum kalian harus pergiselamanya karena sopir truk sialan itu.
Langit telah gelap, bintang mulai bermunculan menambahindahnya malam. Aku masih meringkuk di tempat yang sama, badanku sampai kaku rasanya. Daripada meratapi nasib seperti ini, sepertinya aku harus benar-benar mengikhlaskan kepergian orang tua ku.
__________
Sudah satu bulan sejak kepergian orang tua ku. Nyatanya akumasih belum bisa mengikhlaskan kepergian mereka. Selama iniaku hidup tidak teratur. Penampilan acak-acakan, rambutberminyak, kulit kusam, dan wajah kotor. Persediaan apapunmulai menipis, apalagi uang. Mau tidak mau aku harus mencarikerja, karena tidak ada pesangon atau pensiunan dari orang tua. Hanya rumah ini yang menjadi warisan satu-satunya.
Ini hari pertamaku mencari kerja. Berangkat mengenakan kemejaputih yang kutemukan di lemari ayah, dengan celana hitam danCV yang baru selesai aku print barusan, langkahku sangatbersemangat. Hingga di tengah jalan aku melihat berita yang memaparkan bahwa negara ini telah terkena pandemi yang mengharuskan warganya tetap di rumah.
Seketika kaki ku lemas, aku terdiam di tempat. Belum cukup jugatuhan menguji hamba-Nya dengan mengambil hartanya yang paling berharga. Sekarang tidak diizinkan bekerja pula?
Kembali ke rumah dalam keadaan lemas tak mendapat apa-apa. Aku duduk lunglai di kursi. Memikirkan ide se-kreatif mungkinagar dapat menghasilkan uang di masa pandemi ini, mengingatpersediaan yang mungkin tidak cukup untuk seminggu kedepan.
“Ya! Online Shop paling bisa bantu gue seenggaknya buatpondasi” Begitu pikirku.
Sekarang beralih ke modal. Aku mana punya uang untuk modal, buat makan saja pas-pasan. Lalu aku ingat, masih punya bibi yang tinggal jauh dari tempat tinggalku sekarang. Aku yakin bibikupasti mau meminjamiku uang, mengingat betapa seringnya beliaumain ke rumah waktu ayah masih hidup.
Kuyakinkan tekadku menuju kota dimana bibi tinggal denganbiaya yang mepet. Bergegas memesan tiket dengan jadwal siang, agar sampai disana bisa sekalian menginap hanya semalam. Membawa baju seadanya saja, juga oleh-oleh untuk bibi.
Naik kereta selama 3 jam cukup pegal ternyata. Keluar daristasiun, aku naik kendaraan umum untuk sampai di rumah bibiyang memang tidak jauh dari stasiun. Ya sekalian menghematuang pula. Setelah sampai, dengan perasaan was-was kuketukpintu rumahnya. Tak berapa lama muncul bibi yang masih terlihatcantik meskipun hendak menginjak kepala lima, dengan balutandaster batik selutut, menatapku kaget dan seperti tidak nyaman.
“Assalamualaikum, bibi” Ucapku seraya mengulurkan tanganingin bersalaman.
“Eh? Iya Ardhan, ngapain kesini?”
Tangannya tidak menerima salamku. Tepat di depanku diamenggunakan hand sanitizer seperti telah bertemu seonggok virus yang siap menyerangnya. Bahkan aku belum memegang tanganbibi.
Bukannya bibi menanyakan kabarku untuk basa-basi, beliaulangsung menanyakan untuk apa aku berada disini. Setidaknyapersilahkan keponakanmu satu-satunya ini masuk. Aku tahu, memang aku dari kota yang jauh dan memberi kemungkinanmembawa virus. Aku siap jika harus disterilkan terlebih dahulu,namun bukan perlakuan seperti ini yang kuharapkan sebenarnya. Aku sangat kecewa. Kemana bibiku yang ramah itu?
“Aku boleh masuk dulu ga bi? Hehe barusan habis naik keretalamaaa banget buat ke rumah bibi, capek”.
Belum sempat bibi menjawab pertanyaan ku, datanglah paman, menginterupsi tiba-tiba dengan wajah sangarnya.
“Loh Ardhan? Kamu jauh-jauh kesini ngapain? Udah rapid test belum? Paman ga nerima orang jauh kayak kamu ya! Pergi kalokamu belum tunjukkan bukti kamu negatif Covid”.
Aku lebih kaget lagi. Diusir? Tubuhku bergetar menahan amarah. Kepalan tanganku semakin kuat ketika paman membasahi dirikudengan disinfektan. Tuhan sepertinya tidak memihakkubelakangan ini.
“Gini ya perlakuan paman sama bibi? Aku tahu aku mungkinberpotensi bawa virus. Tapi ga bisa kah memperlakukanponakanmu ini sedikit lebih baik? Memangnya aku pernah berbuatsalah apa sama kalian?”
Paman nampak sangat marah sama denganku. Kami beradu tatapseakan bersedia melahap satu sama lain. Bibi menengahi, “Ardhan, seperti yang kamu tahu, kamu mungkin berpotensi bawavirus, jadi ya kami ga bisa nerima kamu masuk. Memangnya adahal genting apa sampai kamu kesini?”
Mencoba menyabarkan diri sendiri, kemudian menjelaskan padamereka, “Aku mau buka usaha toko online bi, itung-itung hasilnyabisa untuk kehidupanku sehari-hari selama pandemi ini, kedatanganku kemari niatnya mau pinjam uang kalau paman danbibi bersedia, untuk modal usaha ku ini. Nanti kalau sudahberjalan dan aku udah dapet penghasilan yang cukup, aku pastibayar hutangku”
Kau tahu apa yang terjadi setelah itu? Mereka benar-benarmengusirku. Menolak mentah-mentah apa yang barusan kuajukan. Bilang bahwa mereka juga butuh uang disaat pandemi ini, takakan bisa pinjami aku uang. Paman tampak sangat muak sampai-sampai menutup pintu dengan rapat setelah mendorong tubuhkuhingga terpental ke belakang.
Terpaksa aku pergi, meninggalkan oleh-oleh untuk bibi di depanpintu. “Apa ya yang akan kulakukan jika pulang ke rumah? Atauaku menetap disini saja sampai dapat modal?” Kataku dalam hati. Sejenak aku berhenti di warung untuk makan, dengan laukseadanya.
Di samping tempat ku duduk, ada sekumpulan bapak-bapak yang sepertinya membicarakan topik yang serius.
“Loh makanya itu, gedung sebelah ini kan belum selesaipembangunannya, jadi si arsitek nya malah minta pekerja baru, padahal bisa diselesain sama pekerja yang tersisa ini, susah bangetsekarang cari pekerja”
Aku terkesiap. Pekerja katanya? Meskipun jadi buruh, aku pun mau. Kuberanikan mendekat ke arah bapak-bapak tersebut, lantasbertanya apakah aku bisa melamar menjadi pekerja di proyekpembangunan itu. Mereka mengiyakan. Jangan ditanya lagibagaimana perasaanku, saking senangnya sampai aku hampirmembanting piring makanan tanpa sisa di meja ini.
Mereka bilang aku harus menghubungi arsiteknya terlebih dahulu. Setelah mendapat kontaknya, segeralah aku menelfon si arsitek. Tak butuh waktu lama untuk wawancara, akhirnya aku diterimadan bisa bekerja mulai esok pagi.
Malam ini aku memutuskan tidur di proyek pembangunantersebut, karena benar-benar tidak ada tempat lagi untuk akuberistirahat.
Keesokan harinya, seragam kudapatkan lengkap dengan topi, gratis! Sangat seru bekerja di hari pertama. Meski bekerjamenggunakan masker agak pengap, tapi rasanya menyenangkanbisa bertemu orang baru disini. Bos bilang aku bisa mendapatkangaji setiap seminggu sekali, itu tidak termasuk biaya makan, jadiaku bisa makan gratis selama bekerja di proyek ini.
Sampai saat ini aku masih bekerja di tempat proyek pembangunanyang sama. Bangunannya hampir selesai, hanya saja tinggalpemasangan atap. Itu artinya sebentar lagi aku bisa pulang kerumah. Selama bekerja di proyek ini aku mendapatkan gaji yang cukup, ditambah aku bisa beradaptasi dengan baik bersama para pekerja nya. Ketika sedang istirahat siang, aku dan beberapa rekankerjaku mengambil makanan yang terletak di sudut bangunan, kami pun langsung makan di tempat. Sejenak aku melepas topipelindung kepala karena udara terasa panas. Namun setelahnya, aku menyesal telah melepas topi. Ya, salah satu atap besi tepatdiatas kepalaku terpeleset dari tangan pekerja dan berakhir jatuhmenancap langsung ke kepalaku. Pandanganku seketika gelap, telingaku berdenging, darah mulai menetes dari atas kepala, setelah itu kurasakan diriku jatuh lemas dan tak sadarkan diri.
__________
“Dok, anak saya masih bisa bangun kan? Saya tadi lihat sendiridok, anak saya gerakin tangannya dok, itu tanda kalau dia bakalsegera sadar kan dok?”. Suara familiar merasuki Indrapendengaran ku. Seperti suara ibu. Disusul suara berat lelaki yang menjelaskan bahwa itu biasa terjadi ketika koma. Sekuat tenagaaku berusaha membuka mata.
Dokter yang menyadari pergerakan ku langsung memeriksamenggunakan alat-alat yang tidak pernah aku tahu. Tunggusebentar. Apa ini? Kenapa ibuku bisa ada disini? Aku ingatdengan jelas waktu itu- Tidak, ini pasti hanya halusinasi karenaaku rindu ibu. Tak lama kemudian datanglah pria denganperawakan gagah memasuki ruangan.
Mataku terbuka lebar saking kagetnya. Ayah??. Aku tidak lagimemperhatikan dokter yang sibuk mencari perhatianku. Matakutertuju fokus pada dua orang di depanku ini. Bagaimana bisamereka bangkit kembali?
__________
Setelah beberapa hari dokter berkutat dengan alat-alatnya untukmemeriksaku, akhirnya aku diperbolehkan masuk ke ruang rawatinap. Aku ingin cepat-cepat bertemu orang tua ku. Selain rindu, aku harus mempertanyakan semua ini.
Beberapa jam sesudah aku dipindahkan, ayah ibuku datangmembawa perlengkapan seperti baju dan beberapa makanan, sepertinya untukku. Mereka menghampiri bankar tempatkuterbaring dengan antusias dan terharu. Tanganku terulurmenyentuh wajah ibuku, pun bergantian pada wajah ayah. Akubenar-benar merindukan mereka. Jika ini mimpi sekalipun, akuberharap bisa tidur selamanya. Kuberanikan diri bertanya dengannada yang lemas, “Ayah, ibu, aku ini sebenarnya kenapa?”
Mereka menatapku masih dengan tatapan lembut, menjelaskankalau sebenarnya aku telah koma selama lebih dari 2 bulan akibatkecelakaan proyek ketika atap besi menimpa kepalaku saat akuikut ayah untuk bertemu temannya. Jelas aku sangat kaget, jadiselama ini aku hanya mimpi? Lantas aku bertanya kembali, “Sudah pandemi ya yah, bu?”.
Reaksi mereka lebih kaget, bertanya-tanya mengapa aku bisa tahusoal pandemi padahal sudah koma sebelum pandemi ini ada. Akupun menceritakan seluruh mimpiku yang terhitung dua bulan itu. Selama aku bercerita, tak pernah ku dapati tatapan mereka merasabosan atau malas.
Mereka senantiasa antusias mendengar ceritaku ini, bukti bahwamereka sama rindunya denganku.
Beberapa minggu setelah aku sadar, akhirnya aku bisa pulang kerumah dalam keadaan sehat. Sebelum pulang, aku memintakepada kedua orang tua ku untuk mampir ke supermarket, membeli beberapa sembako yang berguna untuk orang lain di masa pandemi. Kupaksa diriku keluar dari mobil, membagikansendiri sembako-sembako yang telah dibeli, menyaksikansenyuman orang yang bahkan tidak kukenal rasanya sangatmenyenangkan. Setidaknya di masa yang paling menyiksa ini, akubisa membantu mereka memerdekakan kehidupan keluargakecilnya.
Comments
Post a Comment