CERPEN KARYA EKA NABILA CAHYARANI (XII MIPA 2)

 Ambisi untuk Impianku

Dari jendela kayu tua nampak seorang gadis yang tengah mendengarkan musik melalui telpon pintarnya, ia juga mengenakan headset supaya lagu yang ia dengarkan nampak jelas. Rintik hujan menemaninya hingga larut dalam aktifitasnya kini. Menggambar adalah salah satu dari sekian hobinya, gadis itu berusaha untuk mencari hal-hal baru yang belum pernah ia lakukan seperti contohnya merajut, membuat pakaian sendiri, dan lain sebagainya.

"PHARSHA" teriak seorang wanita paruh baya itu yang baru saja membuka pintu kamar gadis itu dengan keras. Namun demikian, orang yang di panggil mengacuhkannya dalam alunan lagu.

"Aaaaww.... Sakit buk, aduhh" rintih Pharsha kesakitan karena telinganya di jewer oleh ibunya.

"Kamu di panggil dari tadi rupanya masiiihhh aja gak berubah. Kamu itu dah dewasa, harusnya lebih pengertian dan berpikiran dewasa dong, bantu ibu atau apalah. Bersihin rumah kek, ini engga malah dengerin musik" ucam ibunya panjang lebar, namun terlihat dari sorot mata Parsha ia tak menggubris perkataan ibunya tadi.

Ya. Itulah Pharsha, gadis berkulit sawo matang yang memiliki ambisi dan tekad besar untuk masa depannya. Ia tak kenal menyerah dengan kegagalan yang ia rasakan saat mengikuti kompetisi- kompetisi apapun. Dia siswi kelas 12 yang dikatakan biasa saja, tidak bodoh ataupun pintar sekiranya rata-rata di SMA Negeri Pelita Bangsa di kota Malang, apalagi pada kondisi saat ini ada wabah yang bisa menyerang semua kalangan umur dan tak pandang bulu. Ia harus memutar otak dua kali lipat supaya dia bisa mencapai apa yang ia mau.

Saat ini ia sedang membersihkan rumahnya yang kecil ini yang mampu melindungi seluruh anggota keluarga kecilnya seperti kedua orang tua Parsha dan kedua adik kembarnya. Mulai dari pekerjaan yang ringan yaitu mencuci piring lalu nanti akan ia lanjutkan dengan pekerjaan yang berat lainnya.

GRRR....DUAARRR PYAAR..

"Astaghfirullah" piring yang ia pegang jatuh karena di kejutkan oleh suara petir yang menggelegar. Seketika itu Pharsha panik dan membersihkan pecahan kaca di lantai yang berserakan. Belum selesai ia membersihkannya, ibunya datang dan memarahinya. Selalu dan berulang-ulang.

Suatu hari dimana ia merasa tak tenang dengan penuh pikiran yang kacau, ia pergi ke bangunan tinggi di salah satu daerah tempat tinggalnya. Ia berteriak.

"AAARRGGHH.... KENAPA KEHIDUPANKU TAK ADIL SEPERTI INI!!"

"Jangan suka salahkan hidup" terdengar suara lelaki dari jarak yang dekat.

"Apa urusannya sama kamu? Lagian aku gak kenal sama kau" ucapnya dengan pandangan menelisik dari atas ke bawah dan berulang-ulang hingga kepalanya miring ke samping kiri.

Merasa ia sedang di perhatikan dari ujung kepala sampai ujung kaki oleh Pharsha, ia pun bertanya. "Apa yang kamu lihat?" tanyanya dengan suara lantang.

"Kau anak pindahan?"

"Huh, kalau emang iya kenapa? Kamu naksir ya sama aku, huh iya lah orang ganteng mah bebas" jawab lelaki itu dengan percaya diri yang tinggi.

"Huh, sombong amat. Lagian ngapain kesini, ini tempatku"


"Oh ya? Dari kapan ini tempatmu, ini kan bangunan punya umum. Punya masyarakat. Ya kali kamu gak tau"

"Haah udah deh tujuan kau kesini apa sih? Ganggu orang aja. Datang gak salam main nerobos aja" ujar Pharsha dengan mimik dan gerakan mengikuti kata-katanya.

Tujuan Pharsha untuk menenangkan pikiran kini malah membuat pikirannya kacau karena kehadiran salah seorang pria disana. Tidak menunggu waktu lama pria itu memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan.

"Kenalin, aku Alderic Baskara Arsyad mahasiswa Brawijaya"

Uluran tangan itu tak di balas oleh Pharsha, ia lebih memilih menyatukan kedua telapak tangannya daripada berjabat tangan dengan lelaki. Pria itu menjadi canggung karena sikapnya barusan yang membuatnya malu dan mati kutu.

"Aku Pharsha Diannova Adhisti siswa SMA Negeri Pelita Bangsa, salam kenal"

"Ahaha iya iya maaf kalau cara perkenalanku salah, aku boleh gak jadi salah satu teman kamu gak?" tanya Alderic basa-basi dan hanya di balas anggukan oleh Pharsha.

Mereka mulai berkenalan satu sama lain. Bercerita tentang masa lalunya yang konyol, pembullyan yang di alami mereka berdua, hingga kondisi mereka saat ini. Sangking asiknya bercerita, sampai-sampai mereka tak sadar bahwa lembayung telah nampak di ujung barat.

"Untung aja ya tadi rumah dah aku beresin semua, kali engga... Pasti ibu bakal marah-marah lagi" batin Pharsha sambil menggelengkan kepala dan mengusap dadanya.

"Kenapa?" tanya Al kebingungan. "Oh gak apa-apa kok. Biasalah tugas anak rumahan hahaha" jawab Pharsha sambil tertawa lepas. Mereka melanjutkan perjalanan hingga sampai di kediaman masing-masing.

Kini waktunya Pharsha untuk belajar lagi tentang materi-materi yang belum ia kuasai dan tugas- tugas yang kian hari kian menumpuk. Mengeluh pun tak ada gunanya meskipun saat ini sedang dilanda nestapa dan lara.

Masa demi masa berlalu dan masalah kehidupan terus menerus berdatangan tiada henti. Ingin sekali Pharsha bermain dengan teman-teman dekatnya namun terhalang oleh perintah dari pemerintah RI untuk berdiam di kawasan rumah demi memutus rantai penyebaran virus ini. Ia pun memutuskan untuk kembali ke bangunan yang biasa ia datangi. Dengan menenteng beberapa buku dan telpon pintarnya ia pergi lagi.

Duk..

"Eh.. maaf kak gak sengaja" ucap adik laki-lakinya yang tidak memperhatikan bola saat berjalan.

"Kalau kamu mau makan, makan aja. Di meja udah kakak siapkan bakwan jagung, sayur kangkung, tahu sama tempe. Terus kerupuk udah kakak belikan tadi di wadah biasanya" teriaknya pada adiknya yang baru kelas 5 SD.

Pharsha menyayangi kedua adik kembarnya walau terkadang adiknya cuek kepada Pharsha. Sering sekali ia di abaikan oleh beberapa seperti contohnya di bidang pendidikan, olahraga, dll. Ia menyukai seni, tapi tak ada satupun anggota keluarga yang mendukung kemampuannya itu jadi dia sering sekali pergi menyendiri untuk melukis atau menggambar apa yang ia lihat langsung atau apa yang ia rasakan.


Sepanjang perjalanan menuju bangunan tinggi yang sering ia datangi, Pharsha juga memikirkan hal yang lainnya. Ia memikirkan bagaimana caranya ia bisa mendapatkan uang tanpa harus bekerja melalui orang lain. Ya, Pharsha berpikir untuk membuka usaha kecil namun ia takut usahanya tak selaris orang-orang. Akhirnya ia pun mengesampingkan hal itu.

"Kakak kemarin? Ngapain dia kesini?" tanyanya pada diri sendiri dengan suara yang pelan.

Srekk... Srekk... Srekk...

Suara sandal jepit Pharsha yang di tarik membuat suara di antara gesekannya, hal itu juga yang membuat seorang lelaki disana menengok ke sumber suara.

"Kau kesini lagi kak?" tanya Pharsha.

"Ya, baru saja selesai mengerjakan tugas. Kau ngapain disini bukannya belajar malah main" ujarnya.

"Aku juga belajar disini. Di rumah gak asik, biasanya sering di ganggu akhirnya aku pergi kesini biasanya sambil lihat langit"

"Coba kau lihat. Indah bukan langitnya, dan disana ada puluhan burung yang terbang menari di langit. Ingin rasanya turut serta menari bersama mereka merasakan sebuah kebebasan" lanjutnya dengan kalimat yang puitis.

"Apa kau ingin menjadi penyair? Itu kalimat yang indah menurutku" pujinya.

"Aku gak tau aku nanti mau jadi apa. Sepertinya impianku untuk menjadi seniman di tolak keluargaku, ingin jadi arsitek apalagi. Semakin kesini aku semakin bingung"

"Yasudah kerjakan saja tugasmu itu" ucap Alderic mengakhiri perbincangan dan fokus pada kegiatan masing-masing. Pharsha yang mengerjakan tugas dan Alderic yang membaca buku sambil mendengarkan musik melalui headset miliknya.

Hari beranjak siang, Pharsha bergegas untuk beres-beres bukunya dan kembali ke rumah. Ia harus membersihkan rumah seperti kegiatan biasanya. Jujur saja selama belajar dari rumah ini gara- gara pandemi ia jadi susah untuk mengatur waktu yang biasa ia kerjakan dulu. Antara pekerjaan rumah dulu atau pekerjaan sekolah dahulu.

"Sebentar, kamu ada nomor WA bukan?" tanya Alderic. "Ada, kenapa kak?"

"Kemarikan handphone mu" perintahnya dan di setujui oleh Pharsha setelah Alderic memberikan alasannya untuk meminta handphone milik Pharsha.

"Kalau kau butuh sesuatu, hubungi saja aku. Akan aku bantu sebisanya"

"Terima kasih kak, permisi" Pharsha pergi meninggalkan tempat itu dan tak lupa ia juga memberikan salam kepada Alderic.

Sesampainya di rumah, ternyata sudah ada ayahnya yang habis pulang dari pabriknya. Ayah Pharsha adalah seorang buruh pabrik dan tak terlalu banyak penghasilan yang beliau terima dari kerjanya. Ibu Pharsha juga bekerja di pasar dan menjadi buruh cuci baju untuk menambah keuangan rumah. Mengingat hal itu membuat Pharsha berkeinginan untuk membantu mereka, namun ia tak tahu harus membantu dengan apa.

"Assalamualaikum, ayah tumben pulang awal?" tanyanya basa-basi.


Ayahnya menjawab salam namun tak menjawab pertanyaan Pharsha. Ia pun pergi ke kamarnya lalu pergi ke dapur. Saat menjelang Sore, ibunya datang lalu masuk ke dalam kamar. Terdengar ibu dan ayahnya saling bercengkrama membicarakan suatu hal yang penting.

"Ayah sudah gak kerja di pabrik lagi? Terus kita mau bagaimana yah?" Itulah kalimat dari ibunya yang sempat ia dengar. Ayahnya tak lagi bekerja, itu di karenakan adanya pengurangan tenaga kerja untuk mengurangi potensi penularan virus. Kaget, sedih, bingung semuanya bercampur aduk dalam pikirannya.

Pada malam harinya ia belajar tentang pelajaran yang di pelajari pada saat UTBK. Ia membeli buku untuk menunjang kegiatan belajarnya. Pharsha mendapatkan banyak info tentang lomba- lomba dari sahabatnya melalui media sosial. Sekarang ini bukan waktu untuk bermalas-malasan, karena pahitnya kehidupan akan terus menantinya dan membuat Pharsha menjadi anak yang lebih tangguh lagi.

Satu jam berlalu ia berkutat dengan buku dan handphone. Ia menutup buku dan keluar dari kamarnya untuk melihat adik-adiknya belajar, mungkin saja ada yang bisa ia bantu.

"Kak, nomor ini gimana ya kak?" tanya salah satu adiknya.

"Oh yang ini caranya kaya gini, jadi kamu cari dulu artinya lalu di isi sama jawaban yang tepat. Seumpama jawabannya itu ke kantin, ya kamu artikan ke bahasa Inggris dulu lalu di taruh sini. Paham?" jelasnya pada adiknya itu.

"Kamu udah tugasmu dek?" tanya dia pada adik satunya.

"Udah kak, aku kerjakan tadi siang jadi sekarang tinggal tidur aja" jawabnya sambil meregangkan otot-ototnya.

Setelah semua selesai ia pun pergi ke dapur untuk membantu ibunya.

"Kak, ibu mau ngomongin sesuatu sama kamu" ucap ibunya mengawali pembicaraan antara mereka berdua.

Akhirnya kedua wanita itu pun saling berbincang di kamar Pharsha. Ia mendengarkan dan mengamati dengan cermat apa yang ibunya katakan.

"Kamu tahun besok tidak usah kuliah dulu ya?" ucap ibunya mengakhiri perbincangan itu lalu mengusap pipi anaknya dan keluar dari kamar Pharsha.

DAARRR...

Bagai tersambar petir, Pharsha sangat terkejut mendengar perkataan terakhir ibunya. Tubuhnya terjatuh ke lantai yang dingin itu, ia menangis namun tak mengeluarkan air mata. Ia bingung, apa yang harus dilakukannya. Untuk menghilangkan pikirannya sejenak ia pun memutuskan untuk tidur dan memikirkannya esok hari.

Sang surya mulai menyinari bumi dengan kehangatannya untuk menggantikan saat-saat hawa dingin yang di bawakan oleh sang chandra. Ayam-ayam berkokok dan saling bersahutan, semua tanaman melambai-lambai di tiup angin pagi yang menyejukkan itu. Pharsha pun bangun dan memulai kegiatan pagi sehari-harinya. Di tempat yang berbeda, Alderic juga bangun bersiap-siap untuk memulai kuliahnya di pagi ini.

Setelah di rasa semuanya selesai, a pun pergi ke kampusnya untuk praktek. Ia berjalan kaki karena jarak kos dan kampusnya lumayan dekat dan juga semua itu untuk menghemat uang dari orangtuanya, ia berjalan dengan perasaan bahagia seperti biasanya.


"Hai Der, pagi" sapa temannya.

"Pagi juga Jo"

Ia banyak mendapatkan sapaan dari teman yang mengenalnya. Setelah melewati lorong yang panjang akhirnya sampai juga ia di kelasnya. Alderic pun menaruh tasnya di samping meja dan mulai bercengkrama dengan teman yang lainnya.

Kembali di rumah Pharsha, ia malah sebaliknya dari Alderic. Ia merasa kurang semangat dengan hari itu. Semua terasa hambar, bahkan gurunya saja hampir tak ia perhatikan namun ia terus mengulangi perkataannya untuk terus fokus.

Mentari mulai meninggi, Alderic pulang dari kampusnya dan bergegas ke kosannya lalu pergi menuju bangunan tinggi itu. Saat ia sampai disana, tak ada satupun orang disana lalu ia menunggunya dan pulang. Selama tiga hari ia melakukan itu dan hasilnya sama. Ia menghubungi nomor Pharsha namun tak di angkat.

"Shasha kenpa ya? Tumben gak kesini?" tanyanya pada diri sendiri lalu meninggalkan tempat itu. Ia bertanya kepada orang-orang rumahnya Pharsha dan ia menemukannya.

"Assalamualaikum, Pharsha ada te?"

"Oh ada nak, silahkan masuk"

Ibunya Pharsha memanggil anaknya karena di cari oleh temannya di ruang tamu. "Ada apa kak?" tanya Pharsha tanpa basa-basi sambil menyuguhkan minuman. "Kamu ada masalah Sha?"

Diam. Hanya itu yang Alderic dapatkan dari pertanyaan itu.

"Ok lah, besok kita ketemu lagi di tempat biasanya jangan gak datang ya" ucapnya pelan dan sopan sambil meminum tehnya hingga tinggal setengah.

"Aku pulang, titip salam buat ibumu. Assalamualaikum"

"Wa'alaikumussalam"

"Apa aku ketemu sama kak Al ya? Tapi aku juga butuh teman cerita karena temanku masih belum kasih jawaban yang menurutku bagus. Aku pergi aja kali ya kesana" batin Pharsha.

Keesokan harinya ia pun menepati janjinya kepada kak Alderic kemarin. Saat semua pekerjaan rumah selesai ia pun pergi kesana.

"Hai kak, assalamualaikum" sapanya.

"Wa'alaikumussalam. Kenapa akhir-akhir ini aku lihat kamu kaya sedih Sha?" tanya Alderic basa- basi.

"Entahlah aku bingung harus mulai ceritanya darimana? Semua begitu rumit kak" jawab Pharsha sambil menatap langit.

"Mulailah dari apa yang menurutmu penting"


Akhirnya ia menceritakan tentang PHK ayahnya karena wabah yang tak kunjung berhenti. Dan mau tak mau ia harus bekerja untuk semua itu dan merelakan impian untuk ke PTN impiannya di tahun besok.

"Kenapa kamu gak buat usaha kecil-kecilan saja? Nanti kmu bisa belajar sambil mengurus usaha kamu itu, dan kalau tahun besok alhamdulilah kamu asik PTN impianmu kamu juga masih bisa kan serahin usaha kamu ke ibu atau ayahmu untuk melanjutkannya" tutur Alderic.

"Bener juga ya kak" jawabnya sambil menimbang-nimbang opini dari Alderic.

Akhirnya mereka bertukar opini tentang usaha yang akan Pharsha lakukan dan hal-hal lainnya yang di butuhkan Pharsha untuk masa depannya. Tak jarang mereka juga bercanda di sela-sela perbincangan itu. Matahari mulai meninggi dan mereka berdua harus pulang ke rumah masing- masing.

Saat di rumah, ia membicarakan sesuatu dengan orang tuanya tentang usaha apa yang akan ia bangun. Ayah dan ibunya menyetujui ide Pharsha, dan mulai Minggu besok ia akan memulai usahanya, yaitu kerajinan tangan. Pharsha meminta tolong keada Alderic untuk di buatkan akun online shop karena ia juga melakukan usaha online juga. Meminta tolong kepada teman-teman untuk mempromosikan dagangannya.

Sebulan berlalu, banyak lika-liku yang ia dapatkan dari usahanya itu dan juga belajar online di sekolahnya, namun itu yang membuat Pharsha untuk terus semangat. Ia juga mendengarkan lagu yang selalu membuatnya semangat menghadapi kehidupan sekarang ini.

"Yaa. Aku harus semangattttt, demi keluargaku dan adik-adik yang aku sayangi aku harus bisa menjalankan semua ini. Aku gak sendirian dan aku harus bisaa!!" serunya pada dirinya sendiri.

Tiap hari ia mengurus usahanya yang semakin berkembang dan tak lupa belajar untuk ke PTN impiannya, dan jua ia meminta bantuan kepada sahabat dan juga Alderic untuk semua hal yang tidak ia ketahui.

Tibalah saatnya pengumuman hasil SNMPTN.

"Ayah apa aku di terima ya di universitas impianku?" tanyanya ragu pada ayahnya yang ada di samping ibunya.

"Optimis nak, kamu pasti bisa" ucap ayahnya menyemangati Pharsha.

Namun mungkin ini belum rezekinya, ia gagal kedua kalinya setelah ia gagal pada saat UM PTKIN di UIN Malang. Ia merasa sedih, namun ia memikirkan satu jalan lagi untuk bisa kuliah. Jalur SBMPTN.

Pharsha semangat dalam belajarnya, tak lupa ia juga mengurus usahanya. Ia kini mendapatkan support dari orang terdekatnya seperti ayah, ibu, adik-adiknya, dan sahabat-sahabatnya. Pharsha juga semakin dewasa setelah masalah-masalah yang ia lalui mulai berkurang.

Hari-hari terus berlalu dan saatnya ia menerima hasil dari SBMPTN kali ini.

"Ayah aku gak berani buka, coba ayah aja yang buka" ucap Pharsha dengan menutup mata.

Detik-detik menjelang pengumuman semakin menegangkan untuknya. Saat ia membuka akun SBMPTN terdapat ucapan yang di beri highlight warna biru yang bertuliskan Selamat! Anda dinyatakan lulus seleksi SBMPTN LTMPT 2022 di PTN : UNIVERSITAS BRAWIJAYA

"Alhamdulillah ya Allah" Pharsha memeluk ayah dan ibunya sambil menangis.


Ia sangat bersyukur menuai hasil dari jerih payahnya selama ini. Tak lupa ia mengabari sahabat- sahabatnya yang telah membantunya. Tanpa mereka mungkin ia tak mungkin ada di titik saat ini.

Ia pergi ke banguan tinggi untuk bertemu dengan Alderic saat senja mulai terlihat. "Shasha selamat ya, kamu di terima di universitas Brawijaya" ucap Alderic. "Sama-sama kak, nanti boleh berangkat bareng?" tanya dia.

"Boleh aja, asal kamu terus semangat ok"

"Ok kak"

Mereka pun menikmati baskara saat berada di ufuk barat. Menikmati indahnya lembayung di hari itu. Selesai sudah masalah-masalah Pharsha untuk saat ini, dan kedepannya mungkin akan ada masalah yang lebih berat lagi, tapi ia akan tetap kuat bahkan lebih kuat dari sekarang.

TAMAT


Comments

Popular posts from this blog

JADWAL DAN BAGAN PERTANDINGAN 3X3 COMPETITION

17AN DOELANAN

INIVTASI BASKET SMADA & DOEA 3X3 BASKETBALL COMPETITION 2019