CERPEN KARYA FEISYA NASYWA ADHISTI (XII MIPA 1)

 SEKALI LAGI

Karangan: Feisya Nasywa Adhisti I.

 

Hidup ini laksana misteri dunia, bahkan tuk membekuknya pun kita harus menggunakan berbagai macam cara yang harus dilakukan. Bak seseorang di dalam labirin, saat memasuki labirin disanalah dia harus keluar dari labirin untuk menembus misteri itu.” -Gavin Aithan.

 

Namaku Gavin Aithan. Teman-temanku biasa memanggilku Gavin. Kata ibu namaku memiliki arti, “Anak laki-laki yang kuat seperti elang putih.” Aku duduk di bangku kelas 2 SMA Diponegoro. Aku adalah anak semata wayang yang hidup sebatang kara tanpa kedua orang tuaku. Kedua orang tuaku meninggalkanku terlebih dahulu beberapa waktu yang lalu. Dan inilah rintangan terberat dalam hidupku. Sepertinya kedua orang tuaku memang ingin aku menjadi anak laki-laki yang kuat dan tangguh bak elang putih yang terbang bebas dan menerjang semua rintangan. Namun, rintangan satu ini begitu susah tuk kuterjang. 

 

“GAVINNN!!! Ayo dinyalakan kameranya, sudah berapa kali ibu bilang. Kamu tidak mendengarkan ibu menjelaskan, ya!”bentak Bu Rina. 

 

“Baa-baikk bu, mohon maaf,” jawabku meminta maaf.

 

“Sekarang, kamu baca halaman 56 di buku paket dengan keras biar semua temanmu bisa mendengarkan. Murid yang lainnya dengarkan Gavin membaca, kata Bu Rina dengan nada tinggi.

 

“Kamu itu, sudah malas, tidak mau mendengarkan guru menjelaskan. Mau jadi apa kamu nanti?,” kata Bu Rina sekali lagi.

 

“Mohon maaf bu, tapi saya pun juga benci dengan diri saya sendiri,” ucapku dengan lirih. Sontak teman-temanku dan Bu Rina pun terdiam. 

 

Ya begitulah keseharianku sebagai murid pemalas, selalu saja kena marah. Diriku yang pemalas ini terbentuk semenjak aku kehilangan kedua orang tuaku. Aku kehilangan kedua orang tuaku tujuh bulan yang lalu. Mereka meninggalkanku karena terpapar virus Covid-19. Orang tuaku adalah seorang tenaga medis. Selama pandemi mereka memang banyak menghabiskan waktu di rumah sakit untuk menolong orang-orang yang terpapar virus ini. Bagiku, kehilangan orang tuaku berarti juga ibarat aku kehilangan semangatku. Sejak saat itu, aku mulai membenci semuanya terutama situasi kali ini. Situasi di saat pandemi, ditambah lagi aku kehilangan kedua orang tuaku. 

 

“Seandainya saja aku bisa mendapatkan kasih sayang kedua orang tuaku lagi,” kataku dalam hati. Asal kalian tahu saja, melihat anak lain yang sebaya denganku bisa menghabiskan waktu bersama kelurga dan mendapat kasih sayang kedua orang tua, hal itu membuatku semakin naik pitam dan dongkol dengan semua ini.  

 

Selama aku hidup sendirian, aku memutuskan untuk bekerja agar aku bisa memenuhi kebutuhanku. Uang peninggalan kedua orang tuaku pun hanya aku gunakan untuk kebutuhan pentingku, seperti membeli buku, membiayai kebutuhan sekolahku, dan lain-lain. Awalnya aku bekerja sebagai pelayan di kafe dekat rumahku. Namun aku harus berhenti bekerja di sana, dikarenakan selama pandemi ini omset penghasilan menurun drastis. Bahkan pemilik kafe sampai tidak bisa membayar biaya sewa tempat. Akhirnya kafe tersebut menjadi gulung tikar, dan kini aku bekerja sebagai pengantar sayuran. Biasanya aku mengantar sayuran yang dikelola Pak Budi ke beberapa restoran di sekitar rumahku. 

 

“Gavin, sayuran-sayuran ini nanti kamu antarkan ya ke restoran yang ada di jalan besar,” ucap Pak Budi.“Iyaa, Pak. Akan saya antarkan usai dzuhur,” ucapku mengiyakan.“Hati-hati ya, Nak, jalan besar ramai dengan kendaraan yang beralalu lalang,” ucap Pak Budi mengingatkan. 

 

Usai sholat dzuhur aku pun bergegas membereskan buku-bukuku dan segera mengantarkan sayuran ke restoran di jalan besar. Aku mengayuh sepedaku sedikit terburu-buru, karena langit sedang tidak bersahabat denganku, bahkan terlihat awan pun mulai murung. Aku menambah laju ayuhanku, agar semua sayuran ini tidak basah. Di tengah perjalanan, aku merasakan sepedaku semakin berat. Aku pun turun dan memastikannya, dan ya ternyata ban sepedaku bocor lagi terkena kerikil jalan. Ban sepedaku sering sekali bocor, padahal aku sudah mengganti bannya ke Mas Udin berkali-kali. Namun, tetap saja bocor.“Haduhh bocor lagi bocor lagi, kamu kan sudah berkali-kali aku tambal kenapa masih bocor sih. Gatau situasi banget nih sepeda,” keluhku sembari mengarah ke arah ban sepeda.

 

Aku yang mulai geram pun harus menuntun sepedaku sambil sedikit berlari agar segera sampai di tempat sebelum hujan. Namun sayang, alam sedang tidak berpihak padaku. Rintik hujan mulai turun perlahan-lahan dan semakin deras. 

 

“Huaaaa hujannya kenapa semakin deras sih, gimana nasib sayuran-sayuran ini. Apa aku tutupi saja ya dengan sarungku ini?” Gumamku sambil menepikan sepeda. Aku menepi dan menutupi sayuran-sayuran dengan sarung yang aku kalungkan dileherku. Aku mulai cemas, karena hujan tak kunjung reda. Tanpa pikir panjang aku tetap menuntun sepedaku sambil basah kuyup kehujanan, karena aku lupa tidak membawa mantel hujan. 

 

“Aduhh bodo amat deh, terjang aja gapapa, daripada mendapat komplain dari pihak restoran yang nantinya upahku juga kena potong,” ucapku menggerutu.

Akhirnya setelah 20 menit perjalanan, aku semakin dekat dengan restoran. Hanya tinggal 100 m lagi  sampai, aku yang begitu gembira pun bergegas berlari sambil menuntun sepeda dan menyebrangi jalan.

 

“Huhh akhirnya sampai juga dan tinggal nyebrang aja deh, lega banget rasanya,” ucapku penuh dengan rasa syukur sembari mengusap wajahku.

Namun, na’as di tengah jalan saat aku berhenti untuk menunggu laju mobil dari arah kiriku, tiba -tiba di sebelah kananku melaju mobil brio merah dengan kecepatan yang melebihi rata-rata dan melaju dengan bergajulan. Aku yang saat itu mulai merasa panik dan tidak bisa berfikir jernih. Mungkin waktuku hanya 5 detik lagi.

 

Aku melempar semua sayuran ke tepi jalan, agar semua sayuranku tidak rusak. Di tengah rintik-rintik hujan aku tersenyum ria dan menatap ke arah langit. Sepertinya aku memang sudah siap dengan hal ini. “AKU AKAN MENEMUI AYAH IBUKU, TERIMA KASIH BANYAK TUHAN!!!!” Ucapku berteriak. Ya, itulah alasanku tersenyum di saat-saat terakhirku. “BRAKKKK.” Aku merasa tubuhku terpelanting dan lepas landas ke atas, lalu aku terjatuh dan terseret cukup jauh. Aku yang merasakan sakit pada saat itu sudah tidak kuat menahannya. 

 

“Nak bangun, Nak, kamu masih sadar, kan?. Kumohon bertahanlah,” ucap seseorang yang tidak aku kenal. “Maaf,” ucap terakhirku. Aku pun mulai tersenyum dan memejamkan mata. Akhirnya semua rasa sakit, semua rasa lelah dan kecewa yang aku rasakan selama ini, tidak akan kurasakan lagi.

 

“Gavin… Gavinn.. bangun nakk,” ucap sesorang dengan rasa yang begitu cemas. Aku sedikit familiar dengan suara yang sangat lembut bak bidadari ini. Aku mulai membuka kedua mataku secara perlahan. Saat aku membuka mataku, pandanganku kabur. Yang kulihat adalah ruangan berbalut warna putih. Ya seingatku aku memang tertabrak mobil di pinggir jalan. Aku berfikir, “Apaini di surga?”“apa aku bisa bertemu ayah ibuku.” Namun, sepertinya lagi-lagi Tuhan berkehendak lain. Aku masih harus kembali melanjutkan hidupku yang ripuh ini. 

 

“Gavin, alhamdulillah nak kamu sudah sadar,” ucapnya sambil merintih. Ya, itu adalah suara Bu Siti. Bu Siti adalah istri Pak Budi yang sangat baik dan peduli kepadaku. Dia adalah salah satu orang yang bersikap lembut dan baik seperti layaknya ibuku sendiri.  “Hehehe maaf Bu Siti, sudah membuat Ibu khawatir. Saya baik-baik saja kok, tenang saja,” ucapku menenangkannya. “Lain kali biar bapak saja ya yang antar ke tempat tempat yang ramai kendaraan seperti itu, memangnya bapak ini keterlaluan,”ucap Bu Siti memarahi suaminya. “Iyaa maafin Pak Budi ya Gavin, lain kali akan bapak temani,” ucap Pak Budi. “Tidak apa-apa, Pak Budi, Bu Siti. Gavin baik-baik saja,” ucapku dengan tersenyum. Kata dokter, aku mengalami sedikit luka di kepalaku, patah tulang lengan kiri, dan beberapa memar disekujur tubuhku. Kalau kalian bertanya sakit atau tidak, ya tentu saja ini sangat sakit. Kepalaku terasa “nyut nyut” setiap saatAku mendapat 6 jahitan di kepalaku dan 2 jahitan di betis kiriku. 

 

Setelah 4 hari aku dirawat di rumah sakit, kini aku diizinkan untuk pulang ke rumah. Selama 4 hari aku dirawat di rumah sakit, Pak Budi dan Bu Siti lah yang selalu bergantian menjagaku. Mereka sangat menjagaku selayaknya darah daging. Apalagi Bu Siti, beliau lah yang sudah merawatku sampai aku diizinkan pulang oleh dokter. Bu Siti selalu menyuapiku makan, membantuku berjalan ke kamar mandi, bahkan ia pun sampai tidur terduduk disampingku untuk memastikan apabila aku butuh sesuatu ia bisa langsung membantuku. Pak Budi juga begitu. Pak Budi membiayaiku selama aku di rumah sakit, menebus obatku, membawakan beberapa pakaianku, bahkan beliau sampai libur mengantar sayur karena merawatku. 

 

“Gavin, kamu untuk beberapa hari ini menginap di rumah ibu dulu ya?” Tanya Bu Siti.

“Gavin tidak apa-apa bu, Gavin sudah sehat. Gavin tidak mau merepotkan Bu Siti dan Pak Budi lagi. Terima kasih telah membantuku dan merawatku di rumah sakit,” kataku menolak dengan sopan. “Nanti uang administrasi selama aku dirawat di rumah sakit, akan ku ganti dengan mengantar sayur sebanyak mungkin hehe,” ucapku sambil menundukan kepala. 

 

“Gavin kamu tidak perlu menggantinya, kami senang bisa membantumu,” elak Pak Budi.“Iyaa, Nak, sudah tidak apa-apa biar ibu rawat kamu sampai benar benar sembuh ya, jadi ayo pulang ke rumah kami,” ucap Bu Siti dengan lembut. Aku yang pada saat itu merasakan ketulusan mereka pun akhirnya tidak bisa menolak tawaran itu. Kami pun menuju rumah Pak Budi dengan mengendarai taksi online. Selama di perjalanan kami pun berbincang banyak hal.

 

“Gavin, kamu tahu tidak kemarin Bapak bikin malu banget,”goda Bu Siti.

 

“Aduh Ibu ini, jangan diomongin lagi toh,” ucap Pak Budi gusar.

 

“Loh Pak Budi kenapa toh, Bu? Pak Budi habis ngapain kok bikin maluBu?” Tanyaku penasaran

 

“Nah kemarin malam kan kamu udah tidur pas habis isya toh, Vin, kamu itu belum makan padahal, tapi cuman makan roti aja. Jadi jatah makan malam dari rumah sakit Ibu taruh di meja supaya nanti kalau kamu bangun bisa langsung makan,” ucap Bu Siti menjelaskan.

 

“Nah, si Bapak itu malam-malam tanya ke Ibu begini ‘Bu ada makanan tidak ya?, bapak lapar banget ini’ begitu katanya,”kata Bu Siti sambil memeragakan gerakan Pak Budi kala itu.

 

“Lalu Ibu jawab begini, Vin, ‘Ada, Pak, itu di atas meja di sebelah kanan’. Maksud Ibu itu roti yang Ibu beli tadi sore,” jelas Bu Siti.

 

“Waktu Bapak makan, kata Bapak sopnya enak banget, loh Ibu kan kaget, Vin. Sopnya dari mana?” Kata Bu Siti dengan heran.

 

“Eh waktu Ibu lihat, Bapak makan jatah makan malam kamu yang dari rumah sakit hahaha. Langsung Ibu marahi dan Ibu suruh untuk minta lagi ke susternya,” ucap Bu Siti sambil tertawa.

 

“Ahahaha pak Budi ini ada-ada saja. Meskipun tidak usah diminta lagi, Gavin juga tidak apa-apa kok, Bu,” kataku menyahut Bu Siti.

 

“Tuhkan, Bu, Gavin nya aja biasa saja. Malah Ibu kemarin malam marah-marah sama Bapak. Bapak kan malu minta ke susternya lagi, bilang kalau jatah makanannya sudah habis di makan Bapak,” gerutu Pak Budi.

 

“Ahahaha sudah biarkan Gavin, biar Bapak lebih berhati-hati lagi lain kali,” ucap Bu Siti sambil tertawa bersamaku.Aku saat itu merasakan de javu, sepertinya aku pernah mengalami situasi seperti ini. Bercanda tawa dengan orang-orang yang aku sayangi.

 

Sesampainya di rumah Pak Budi, Bu Siti langsung mengantarkanku ke kamar yang kosong di rumahnya itu. “Gavin, ini kamar kamu ya. Kalau kamu butuh apa-apa kamu bisa panggil Ibu atau bapak ya,” ucap Bu Siti. “Baik, Bu, terima kasih banyak sudah sangat membantuku,” ucapku dengan sungkan. “Sudah tidak apa-apa anggap saja rumah sendiri. Kamu bersih-bersih saja dulu ya, Ibu mau memasak untuk makan malam. Kita akan makan malam bersama,” ucap Bu Siti sambil mengelus kepalaku. 

 

Kamar ini tidak begitu luas tidak juga terlalu sempit, ya setidaknya kamar ini lebih besar daripada kamarku sendiri. Aku segera merapihkan barangku dan bergegas turun untuk makan bersama Pak Budi dan Bu Siti. Di tengah meja makan yang tidak terlalu besar itu yang hanya sekitar 3x4 m, terdapat beragam masakan yang sudah lama tidak aku makan. Seperti ayam goreng, sambal goreng kentang, tumis kangkung dan juga tempe tahu. Ya maklum saja, biasanya aku hanya makan mie instan ataupun singkong rebus.

 

“Nahh Gavin ayoo kita makan sama-sama ya, Nak,” ajak Pak Budi. “He’eh sini biar Ibu ambilkan nasi sama lauknya, apa segini cukup?” Bu Siti menuangkan nasi dan memberikannya padaku. “Iyaa sudah cukup Buu, terima kasih,” kataku sambil menerima piring yang diberikan. 

 

Sambil menikmati makan malam yang dingin, kami pun merasa lebih dekat. Di tengah makan malam yang singkat ini, kita saling bercerita dan juga tak lupa menyisipkan canda tawa. Pak Budi sempat bercerita kepadaku bagaimana panik yang ia dan Bu Siti rasakan saat mengetahui aku mengalami kecelakaan. Mereka berdua bahkan sampai menelepon ambluans dari beberapa rumah sakit, namun semua ambulans sedang digunakan. Mereka pun memutuskan membawaku dengan menggunakan taksi online. Pak Budi dan Bu Siti sudah berkeliling ke seluruh rumah sakit dan puskesmas terdekat, tapi tidak ada kamar kosong satu pun, karena semua rumah sakit dan puskesmas sudah penuh dengan pasien Covid. Bahkan ruang IGD pun dipenuhi oleh pasien. Mereka pun sampai memohon-mohon kepada perawat dan dokter yang ada di rumah sakit agar bisa menyelamatkanklu.

 

“Saya mohon Dok, Sus, tolong selamatkan anak ini, dia sedang membutuhkan pertolongan,” ucap Pak Budi pada setiap suster dan dokter di rumah sakit. “Mohon maaf Pak, Bu, rumah sakit kami sudah penuh. Kami sarankan untuk mencoba ke rumah sakit lain. Sekali lagi kami memohon maaf,” ucap sang dokter seraya menunduk. 

 

Mau bagaimana lagi, rumah sakit memang sudah penuh dan tidak ada tempat. Pak Budi pun memutuskan membawaku sedikit jauh ke arah pinggiran kota dan berharap ada rumah sakit atau puskesmas yang bisa merawatku. Hingga akhirnya mereka pun menemukan rumah sakit yang tidak terlalu ramai dan terdapat kamar kosong. Dan disitulah aku dirawat selama 4 hari ini. 

 

Di saat aku mendengarkan cerita Pak Budi, tanpa sadar aku meneteskan air mata. Entah mengapa, namun aku merasa mereka lebih peduli terhadapku dibandingkan diriku sendiri. Aku yang sudah menyerah dengan kehidupanku saat ini dan ingin menemui kedua orang  tuaku, sedangkan mereka sangat ingin aku bertahan dan melanjutkan hidupku. Aku merasa diriku semakin tidak berguna, aku merasa seperti sampah masyarakat.  Melihat perjuangan mereka yang ingin melihatku untuk melanjutkan hidup, membuatku mengerti masih ada orang di sekitarku yang sayang dan peduli terhadapku. 

 

“Aku sangat berterima kasih kepada Pak Budi dan Bu Siti, terima kasih banyak sudah peduli dan menolongku. Aku sendiri saja sudah menyerah terhadap hidupku sendiri. Maafkan saya Pak, Bu,” ucapku sambil menangis.

 

“Aku yang sudah lelah dengan semua ini, hidup sebatang kara, tanpa kasih sayang. Yang aku pikirkan hanyalah ingin bertemu kedua orang tuaku. Maaf Pak, Bu, kalian pasti kecewa kepadaku saat ini,” kataku lagi sambil mengeluh .

 

“Gavinn sudah, tidak apa-apa, Bapak dan Ibu sangat mengerti beban yang kamu pikul sendirian selama ini,” ucap Pak Budi.

 

“Kamu jangan pernah menyesali atau kecewa terhadap keputusan yang Tuhan berikan, karena keputusan Tuhan lah yang paling tepat,” kata Pak Budi sambil mengelus pundakku.

 

“Kedua orang tuamu pergi terlebih dahulu karena memang itu sudah waktunya Gavin, mereka sudah berjuang untukmu, seharusnya kamu juga membuat mereka disana bangga, kan? Bukan dengan kamu menyerah seperti ini ya, Nak,” ucap Bu siti dengan lembut bak seorang bidadari.

 

“Sudah, sekarang kamu harus bangkit ya, Nak, kami akan selalu mendukung dan selalu ada untukmu, apapun itu yang terjadi. Oleh karena itu, Bapak ingin kamu mau ya jadi anak Bapak, Gavin?” tanya Pak Budi.

 

“Pak Budi dan Bu Siti tidak sedang berbohong, kan? Kalian benar-benar ingin mengangkatku sebagai darah daging? Bukankah aku terlalu buruk untuk menjadi anak kalian?”Tanyaku sambil menundukkan kepalaku.

“Hushh tidak Gavin, kamu anak yang sangat baik. Kami akan merawat dan menyayangimu seperti anak kami sendiri. Jadi apa kamu mau, Gavin?” ucap Bu Siti meyakinkanku.

 

“Ya–ya tentu saja aku mau Pak, Bu. Boleh kah aku memanggil kalian dengn panggilan Bapak dan Ibu?” Tanyaku sambil menanti jawaban mereka.

 

“Tentu saja, kita kan sekarang sudah menjadi satu keluarga,” ucap Pak Budi dan Bu Siti seraya memelukku.

 

Saat itu tangisanku pecah. Kehangatan pelukan dari seorang keluarga yang sudah lama tak aku rasakan, kini bisa ku rasakan kembali. Aku bisa merasakan kasih sayang mereka yang sangat tulus terhadapku. Kini, SEKALI LAGI aku bisa merasakan disayangi dan dicintai oleh orang tuaku. Terima kasih Tuhan, rencana yang kau simpan untukku sangatlah indah. Sekarang semua rasa kesal, kecewa, terbelenggu oleh kesendirian sudah terbayar dengan pelukan hangat keluarga baruku ini. Di tengah pandemi ini, menjadi saksi awal mula kehidupanku yang baru dengan semangat yang baru. 

“Ayah, ibu, lak Budi, bu Siti. Aku akan membuktikan kepada kalian bahwa Gavin kali ini akan benar-benar menjadi elang putih yang akan melewati semua rintangan yang ada.” Tekadku pada diriku sendiri. Ya, Gavin yang dulu memang seperti bayi elang hehe, tapi kini aku akan menjadi elang putih yang kuat dan tangguh. 

 

Pandemi ini bukanlah akhir dari segalanya. Banyak hikmah yang dapat di ambil dari pandemi ini. Kini aku tahu bahwa dalam hidup jangan mudah menyerah. Selalu percayalah terhadap rencana Tuhan, dan berdamailah dengan diri sendiri. Aku akan melindungi dan menyayangi keluarga baruku. Aku, Gavin Aithan menyatakan dengan ini terbebas dari rasa kecewa, sedih, kesal dan akan menjadi pribadi yang lebih pandai bersyukur. Terima kasih pandemi, dengan ini aku sangat banyak mendapatkan pelajaran hidup. 

 

*TAMAT*

Merdeka menurutku adalah terbebas dari rasa terbelenggu, entah terbelenggu akan kesedihan, kekecewaan atau yang lainnya. Merdeka menurutku adalah kamu bisa merasakan apa yang ingin kamu rasakan dengan bebas tanpa rasa berat sedikitmu. Terima kasih. 

 

Comments

Popular posts from this blog

JADWAL DAN BAGAN PERTANDINGAN 3X3 COMPETITION

17AN DOELANAN

INIVTASI BASKET SMADA & DOEA 3X3 BASKETBALL COMPETITION 2019